BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fenomenologi adalah metode paling baik digunakan untuk menerengkan
sesuatu. Dengan metode fenomenologi kita akan mendapatkan gambaran umum dan
mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan
penampakkan-penampakkan pada diri objek. Penampakkan-penampakkan yang
dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali
baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk
menampakkan diri. Kerana realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran.
Jadi menurut kami metode ini merupakan metode yang paling signifikan untuk
meneliti pengkajian objek.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas,
maka dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
yaitu:
1.
Apa pengertian
fenomenologi?
2.
Bagaimana munculnya
fenomenologi?
3.
Siapa tokoh
fenomenologi dan bagaimana ajaran-ajaran didalam alirannya?
4.
Apa kelemahan aliran
fenomenologi?
C.
Tujuan
Pembahasan
- Mengetahui pengertian fenomenologi.
- Mengetahui bagaimana munculnya fenomenologi.
- Mengetahui tokoh fenomenologi beserta pengajaran didalam alirannya.
- Mengetahui kelemahan ajaran fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani
dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi
fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai
pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi
Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran
subjek.[1]
Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari
suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen” merupakan
realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari
kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya
mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu.
Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas
merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[2]
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat
yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis
apapun,apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama
fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek
pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan
penuh penghayatan.
Dalam konteks apapun kita memakai kata
fenomenologi, kita ingat kepada pembedaan yang dibawakan oleh Kant antara phenomenon
atau menampakan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud
dari itu sendiri. Problema untuk mempromosikan realitas dengan fikiran tentang
merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Problema itu
menjadi lebih sulit karena kita tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan
dengan realitas. Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia
yakni filosof fenomenologi berusaha untuk memecahkan dualisme itu. Ia memulai
tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka pemecahan
tersebut berbunyi: hanya fenomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh
karena itu kita harus melihatnya.[3]
Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice
Merlue-Ponty, “Fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya
alam. Jika kita ingin mengetahui sesuatu benda itu apa dan persoalan seperti
ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita
terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat memberi jawaban, maka tidak
ada sesuatu yang dapat memberinya. Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi
dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat bahwa ada arti yang
sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda.
B. Lahirnya Fenomenologi
Filsafat adalah kerangka berfikir dan semata-mata
mengandalkan akal untuk menguraikan atau menjelaskan persoalan-persoalan
manusia maupun peristiwa alam secara mendalam sampai kepada akar permasalahan.
Oleh karena itu filsafat hanya ada diantara manusia yang berakal atau berpikir.
Berlainan dengan agama yang ada dogma-dogma yang absolut yang bersifat
sepenuhnya kepercayaan, dalam filsasat tidak pernah ada dogma. Dengan akalnya
manusia bisa memikirkan dan mempertanyakan apa saja tanpa batas. Oleh karena
itu dalam filsafat tidak akan pernah terjadi kebenaran yang mutlak, semuanya
akan mengalir sesuai dengan meningkatnya kemampuan daya pikir manusia.Pada masa
sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup
yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme.
Kaum penganut idealisme menilai benda-benda
maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang
dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam
"frame of reference" yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran.
Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealis akan memakai acuan "frame
of reference" yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu
seorang idealist biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya.
Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru,
karya besar di bidang sastra, dll.[4]
Sedangkan kebalikannya kaum penganut
realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan
keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai
nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya
nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu
penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan
karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di
Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan
"science & technology".
Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun
revolusi industri terus bergerak, beberapa filosof di Eropa seperti Edmund
Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang
seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia
tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu
pengetahuan alam. Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur
di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20,kemudian menjalar
ke Prancis dan Amerika Serikat.
C. Tokoh Pencetus Aliran
Fenomnologi
Fenomenologi
adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838).Salah
satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Edmud Hursserl
memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi
eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan
terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme
menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka
seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul
dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarkan gejala-gejala yang timbul dari
benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-gejala tersebut. Benda tersebut
bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap
gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut.
Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya
sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita
menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui
gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi
itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita
hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita
tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa
kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain.
Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir
yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun realisme. Idealisme
memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide
pikirannya, benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran.
Realisme memahami benda kalau benda itu nyata berdasarkan ukuran atau nilai.
Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yang bercerita kepada
kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip”
ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun
juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang
secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan
dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan
bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya
kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti
akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari
suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.[5]
D. Kelemahan Aliran
Fenomenologi
Sebagai
suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana
adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang
pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan
atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek
kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan
pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak
dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam
berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi
sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk
mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan
nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa
tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status
pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian
bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan
secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara
dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah
dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran
terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak
antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
tidak dapat digenaralisasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat
yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi memusatkan perhatiannya pada pengalaman subyektif dan
lebih mencoba memahami kejadian atau
fenomena yang dialami individu.[6]
Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi
masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20,kemudian
menjalar ke Prancis dan Amerika Serikat
Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl
(1859-1938), pada usia 54 tahun, ia baru dapat menyajikan permulaan
penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik
tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu
yang absurd.
A.
Saran
Dalam makalah yang sedikit ini tentunya banyak kekurangan
yang ada untuk memahami tentang fenomenologi, untuk itu bagi para penikmat
makalah ini untuk lebih memperkaya pemahaman dengan membaca referensi-referensi
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
Sadati, Ahmad
dan Mudzakir, Filsafat Umum,
Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Wardana, Uswah. Psikologi Umum. Jakarta:
PT. Bina ilmu.2004.
Muzairi, Filsafat
Umum, Yogyakarta: Teras, 2009.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat
Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
[1]
Muzairi, M.Ag. Filsafat
Umum(Yogyakarta: Teras,2009)hlm
[2]
http://amin.blog.uns.ac.id/fenomenologi/
[3]
Ahmad Sadati
dan Mudzakir, Filsafat Umum(Bandung:Pustaka
Setia, 2009) hlm 12
[4]
http://amin.blog.uns.ac.id/fenomenologi/
[6] Uswah
Wardana. Psikologi Umum( Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004) hlm 8
No comments:
Post a Comment