Pages

Friday, November 8, 2013

Makalah Filsafat Umum : Fenomenologi



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Fenomenologi adalah metode  paling baik digunakan untuk menerengkan sesuatu. Dengan metode fenomenologi kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Kerana realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Jadi menurut kami metode ini merupakan metode yang paling signifikan untuk meneliti pengkajian objek.

B.       Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.         Apa pengertian fenomenologi?
2.         Bagaimana munculnya fenomenologi?
3.         Siapa tokoh fenomenologi dan bagaimana ajaran-ajaran didalam alirannya?
4.         Apa kelemahan aliran fenomenologi?


C.     Tujuan Pembahasan
  1. Mengetahui pengertian fenomenologi.
  2. Mengetahui bagaimana munculnya fenomenologi.
  3. Mengetahui tokoh fenomenologi beserta pengajaran didalam alirannya.
  4. Mengetahui kelemahan ajaran fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata  pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya.  Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek.[1]
Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[2]
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun,apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Dalam konteks apapun kita memakai kata fenomenologi, kita ingat kepada pembedaan yang dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau menampakan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud dari itu sendiri. Problema untuk mempromosikan realitas dengan fikiran tentang merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan realitas. Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia yakni filosof fenomenologi berusaha untuk memecahkan dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka pemecahan tersebut berbunyi: hanya fenomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu kita harus melihatnya.[3]
Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merlue-Ponty, “Fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam. Jika kita ingin mengetahui sesuatu benda itu apa dan persoalan seperti ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat memberi jawaban, maka tidak ada sesuatu yang dapat memberinya. Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda.


B.    Lahirnya Fenomenologi
Filsafat adalah kerangka berfikir dan semata-mata mengandalkan akal untuk menguraikan atau menjelaskan persoalan-persoalan manusia maupun peristiwa alam secara mendalam sampai kepada akar permasalahan. Oleh karena itu filsafat hanya ada diantara manusia yang berakal atau berpikir. Berlainan dengan agama yang ada dogma-dogma yang absolut yang bersifat sepenuhnya kepercayaan, dalam filsasat tidak pernah ada dogma. Dengan akalnya manusia bisa memikirkan dan mempertanyakan apa saja tanpa batas. Oleh karena itu dalam filsafat tidak akan pernah terjadi kebenaran yang mutlak, semuanya akan mengalir sesuai dengan meningkatnya kemampuan daya pikir manusia.Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme.
Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam "frame of reference" yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealis akan memakai acuan "frame of reference" yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll.[4]
Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan "science & technology".
Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filosof di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam. Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20,kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika Serikat.
                                                                                
C.    Tokoh Pencetus Aliran Fenomnologi      
     Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838).Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Edmud Hursserl memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarkan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut.
Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain.
Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya, benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu nyata berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yang bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.[5]

D.    Kelemahan Aliran Fenomenologi
     Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Pendekatan fenomenologi memusatkan perhatiannya pada pengalaman subyektif dan lebih mencoba memahami kejadian  atau fenomena yang dialami individu.[6]
Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20,kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika Serikat
Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), pada usia 54 tahun, ia baru dapat menyajikan permulaan penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd.

A.     Saran
Dalam makalah yang sedikit ini tentunya banyak kekurangan yang ada untuk memahami tentang fenomenologi, untuk itu bagi para penikmat makalah ini untuk lebih memperkaya pemahaman dengan membaca referensi-referensi yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

www.google.com
Sadati, Ahmad  dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia,   2004.
Wardana, Uswah. Psikologi Umum. Jakarta: PT. Bina ilmu.2004.
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras, 2009.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.



[1] Muzairi, M.Ag. Filsafat Umum(Yogyakarta: Teras,2009)hlm
[2] http://amin.blog.uns.ac.id/fenomenologi/

[3]  Ahmad Sadati  dan Mudzakir, Filsafat Umum(Bandung:Pustaka Setia, 2009) hlm 12
[4]  http://amin.blog.uns.ac.id/fenomenologi/
                                                                                           
[5]  http://amin.blog.uns.ac.id/fenomenologi/
[6] Uswah Wardana. Psikologi Umum( Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004) hlm 8

No comments:

Post a Comment